Poto : Pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita/ sbr : FRN / Editor : Yoel
TRS // Jakarta l ,Ternyata Vonis Bebas atas dua petugas Polri di Kasus Kanjuruhan menimbulkan Pro dan Kontra.
Bahkan masyarakat yang kontra menyebut Putusan tersebut tidak adil, sedangkan yang pro sebut langkah tersebut benar untuk membebaskan 2 Anggota Polisi.
Olennya itu Pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita angkat bicara, bahwa Vonis bebas di dalam hukum acara pidana bukan sesuatu yang diharamkan.
Menurutnya Vonis bebas dalam hukum acara pidana yang berlaku adalah salah satu dari tiga jenis putusan pengadilan (vonis), selain putusan dilepas dari penuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dan dihukum.
Lanjut Romli bahwa putusan pengadilan tersebut tergantung dari fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan para terdakwa.
Lanjutnya Teori hukum pidana dan juga doktrin hukum pidana berfungsi menciptakan ketertiban dalam masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum, dan dengan kepastian hukum tersebut diharapkan akan tercipta keadilan dan lebih jauh juga memberikan kemanfaatan.
Dengan demikian tujuan akhir bukanlah harus selalu mehukum atau memenjarakan setiap orang yang di duga melakukan kejahatan. Seiring dengan perkembangan masyarakat dunia khususnya Indonesia abad 20-21 saat ini diketahui bahwa, perlindungan hak asasi manusia merupakan idiologi baru hukum pidana, disampimg filosofi Pancasila dan filosofi pembalasan (lex talionis) lazimnya dipraktikan selama berabad-abad lamanya; namun diwajibkan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap orang termasuk tersangka, terdakwa dan terpidana serta korban tindak pidana.
Dia mencontohkan bahwa wujud perlindungan hak asasi manusia dalam hukum pidana adalah, asas praduga tidak bersalah(presumption of innocence),non- self incriminating evidence, ne bis in idem, in dubio pro reo, dan abus de droit.
“Kekeliruan persepsi masyarakat mengenai tata cara berhukum dalam suatu perkara pidana yang keliru adalah, selalu menghujat dan tunjuk hidung kepada aparatur penegak hukum terutama petugas kepolisian adalah akibat kurangnya pemahaman akan perkembangan praktik dan teoritik hukum dan diperparah oleh mereka yang justru paham hukum dan hak asasi manusia yang selalu mengedepankan hak asasi korban tidak juga pada pelaku kejahatan,” ujarnya.
Lanjut Guru Besar, Dalam hal ini telah terjadi ketidakseimbangan pandangan mengenai hak dan kewajiban asasi manusia yang terus berlanjut tanpa koreksi yang terbaik dari para ahli/pakar hukum pada umumnya khusus ahli hukum dan hak asasi manusia bahwa di dalam setiap HAK selalu melekat KEWAJIBAN ASASI yang harus dipahami secara seimbang dan untuk saling dihormati.
” Sejak dilakukan perubahan konstitusi UUD 45 seyogyanya kita semua termasuk pakar hukum dan hak asasi manusia memahami selain ketentuan HAK ASASI MANUSIA, Bab XA, Pasal 28 A sd Pasal 28 I, akan tetapi juga harus dipahami ketentuan KEWAJIBAN ASASI MANUSIA, TERSEBUT tercantum dalam Pasal 28 J yang berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hukum pidana baik secara teoritik maupun praktik, diakui teosi sebab-akibat (causaliteit leer) Von Buri yang nengutamakan sebab terdekat dari suatu peristiwa untuk menentukan siapa penyebab dari suatu tindak pidana dari sekian banyak sebab, ” tegasnya.
Selanjutnya Romli mengatakan Dalam konteks kasus Kanjuruhan, diketahui bahwa sebab terdekat dari peristiwa 135 orang meninggal dan 75 orang luka berat/ringan adalah keadaan stadion yang sudah tidak laik fungsi terutama pintu gerbang 13 yang pada saat kerjadian penonton/supporter mencari jalan keluar dalam keadaan ¼ terbuka sehingga korban-korban tersebut terinjak-terinjak.
” Sebab terjauh adalah gas air mata unyangmengakibatkan dua petugas polri meninggal di lapangan yang didukung oleh provokasi beberapa oknum supporter aremania untuk menyerbu lapangan dan petugas di lapangan; keadaan chaos yang sudah tidak terkendali menimbulkan keadaan darurat (overmacht). ” teganya.
Dalam keadaan chaos tidak terkendali di malam hari dipastikan tidak dapat diketahui secara pasti siapa penyebab dan siapa korban; dan teori kausalitas merupakan alternatif solusi yang paling dapat diterima dan objektif.
Dalam kasus Kanjuruhan semua empati dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk Komnas HAM terhadap keluarga korban hendaknya juga diiimbangi oleh teori dan doktrin hukum pidana yang diakui universal sehingga menghasilkan objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan juga secara hukum; itulah suatu negara hukum, bukan negara penghukuman. Dalam pandangan penulis, bertolak pada keadaan dan situasi kondisi di tengah peristiwa justru sudah tepat majelis hakim PN Surabaya jika memberikan putusan bebas terhadap para terdakwa dari Instansi kepolisian. Alasannya bahwa, tidak pasti dan tidak adil kiranya jika beban pertanggungjawaban pidana selalu dilekatkan pada jabatan yang disandang pelaku seperti pihak kepolisian karena metoda beban pertanggungjawaban seperti itu hanya mencari dan menemukan kebenaran formil sedangkan tujuan hukum pidana sebenarnya selain telah diuraikan di atas, adalah juga mencari dan menemukan kebenaran materiel, kebenaran sesungguhnya yaitu penyebab nyata dari suatu peristiwa pidana.